Pada pertengahan Maret 2025, prediksi Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, tentang serangan perang dagang yang dipicu oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, akhirnya terealisasi. Kebijakan ini menimbulkan ketidakpastian ekonomi global yang signifikan, dengan tarif bea masuk tinggi menjadi senjata utama dalam konflik perdagangan ini. Amerika Serikat, yang sebelumnya telah menargetkan Kanada, Meksiko, dan Tiongkok, kini mengarahkan pandangannya ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Awal dari Ketidakpastian Ekonomi Global
Pada 2 April 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan keadaan darurat nasional akibat defisit neraca perdagangan AS yang terus meningkat. Sebagai tanggapan, pemerintah AS memperkenalkan kebijakan tarif resiprokal untuk menyeimbangkan hubungan dagang dengan mitra-mitranya. Salah satu negara yang terdampak adalah Indonesia, yang dikenai tarif bea masuk sebesar 32% untuk produk ekspornya ke Amerika Serikat. Alasan utama penerapan tarif ini adalah keluhan AS terkait tarif etanol sebesar 30%, persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), serta kebijakan ekspor Indonesia yang dianggap merugikan kepentingan dagang Amerika.
Menurut analisis Sri Mulyani, perubahan besar dalam arsitektur perdagangan global telah terjadi hanya dalam waktu tiga tahun terakhir. Situasi ini tidak hanya mengubah dinamika hubungan antarnegara tetapi juga menciptakan implikasi fundamental bagi stabilitas ekonomi dunia. "Dunia saat ini berada dalam situasi yang sangat unilateralis," ujar Sri Mulyani. "Kita harus mampu menjaga kedaulatan dan kepentingan Indonesia di tengah ketidakpastian ini."
NAFTA: Contoh Nyata Ketidakstabilan Hubungan Dagang
Salah satu contoh nyata dari ketidakstabilan ini adalah pembubaran North American Free Trade Agreement (NAFTA). Kesepakatan perdagangan bebas yang awalnya dirancang untuk memperkuat hubungan dagang antara Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko kini telah dihapus secara sepihak oleh pemerintahan Trump. Tarif impor yang sebelumnya mendekati nol persen kini melonjak drastis. Misalnya, Kanada dikenakan tarif 10% untuk energi dan 25% untuk komoditas lainnya, sementara Meksiko harus membayar tarif 25% untuk semua produknya.
Tidak hanya itu, Tiongkok juga menjadi target utama kebijakan tarif ini. Pada Februari 2025, AS memberlakukan tambahan tarif sebesar 10% untuk produk-produk asal Tiongkok. Sebagai balasan, Tiongkok menerapkan tarif 15% untuk impor LNG dan etanol dari AS, serta tarif 10% untuk mesin pertanian, kendaraan, dan truk. Retaliasi ini menciptakan siklus balas-membalas yang semakin memperburuk hubungan dagang global.
Ancaman Resesi, Inflasi, dan Stagflasi
Perang dagang ini bukan hanya soal tarif. Dampaknya lebih luas, termasuk potensi resesi, inflasi, dan stagflasi di banyak negara. Stagflasi, kondisi di mana pertumbuhan ekonomi melemah tetapi harga-harga tetap tinggi, menjadi ancaman nyata akibat lonjakan biaya impor dan gangguan rantai pasok global. Kenaikan tarif pada produk baja dan aluminium, misalnya, menyebabkan volatilitas harga komoditas yang berdampak langsung pada industri manufaktur dan sektor digital.
Indonesia, yang berada di peringkat ke-15 dalam daftar negara dengan surplus perdagangan terhadap AS, juga rentan terhadap dampak ini. Sektor manufaktur dan digital Indonesia, yang bergantung pada rantai pasok global, akan menghadapi biaya operasional yang lebih tinggi. Selain itu, sentimen pasar yang terus bergejolak dapat memengaruhi keputusan investasi dan relokasi bisnis di masa mendatang.
ASEAN dan Alternatif Blok Ekonomi
Di tengah ketidakpastian ini, blok-blok ekonomi alternatif seperti ASEAN dan BRICS mulai menunjukkan potensinya sebagai solusi bagi negara-negara yang ingin mengurangi ketergantungan pada AS. ASEAN, misalnya, memiliki peluang untuk memperkuat kerja sama intra-regional guna menghadapi tantangan global ini. Namun, pengaruh AS sebagai negara adidaya ekonomi tetap tidak bisa diabaikan, karena kebijakan mereka pasti akan memengaruhi seluruh dunia.
Langkah Indonesia Menghadapi Krisis
Untuk menghadapi tantangan ini, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia. Menurut Sri Mulyani, langkah-langkah strategis seperti diversifikasi pasar ekspor, peningkatan investasi domestik, dan optimalisasi APBN menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Selain itu, Indonesia juga harus memperkuat kolaborasi dengan mitra dagang regional seperti ASEAN dan Brics guna menciptakan alternatif baru dalam rantai pasok global.
Kesimpulan
Perang dagang global yang dipicu oleh kebijakan unilateral Amerika Serikat telah menciptakan ketidakpastian ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dampaknya dirasakan tidak hanya oleh negara-negara besar seperti Tiongkok dan Kanada tetapi juga oleh negara berkembang seperti Indonesia. Untuk bertahan di tengah badai ini, Indonesia harus memperkuat fondasi ekonominya, memperluas kerja sama internasional, dan terus beradaptasi dengan perubahan dinamika global. Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat menjaga stabilitas ekonominya di tengah era ketidakpastian ini.