Pada era perdagangan global yang semakin kompleks, kebijakan proteksionisme dagang yang dicanangkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah memicu ketegangan di berbagai negara mitra dagangnya. Kebijakan ini, yang dikenal dengan tarif timbal balik atau "reciprocal tariffs," memberlakukan bea masuk hingga 32% terhadap produk impor dari negara-negara tertentu. Sementara Uni Eropa, India, Korea Selatan, dan Vietnam lebih dulu merayu Amerika Serikat untuk menurunkan tarif tersebut, Indonesia bersama blok ASEAN masih merumuskan strategi negosiasi yang tepat. Pertanyaannya, bisakah kebijakan proteksionisme Trump digoyahkan?
Tantangan Indonesia dalam Menghadapi Proteksionisme Trump
Indonesia, sebagai salah satu mitra dagang penting Amerika Serikat, tidak luput dari dampak tarif tinggi ini. Dengan tenggat waktu yang semakin dekat—tarif resiprokal dagang Trump akan berlaku empat hari lagi—pemerintah Indonesia disebut tengah mengupayakan jalur diplomasi untuk menurunkan persentase tarif timbal balik tersebut. Namun, tantangannya cukup besar. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Danang Girindrawardana, kebijakan proteksionis Trump sangat sulit digoyahkan meskipun upaya negosiasi dilakukan secara intensif.
"Kami di dunia usaha melihat bahwa negosiasi mungkin tidak akan banyak membantu. Keputusan Presiden Trump dalam memberlakukan tarif tinggi ini pasti sudah dipertimbangkan dengan matang, bahkan terhadap sekutu dekat seperti Kanada dan Meksiko," ujar Danang. Faktanya, hampir seluruh negara NATO pun terkena dampak dari penerapan tarif tersebut. Artinya, Trump telah memperhitungkan risiko dan manfaat dari kebijakannya sebelum pelaksanaan.
Namun, apa yang membuat Indonesia "tertinggal" dibandingkan negara lain seperti Vietnam, yang bahkan telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat? Jawabannya terletak pada kesiapan strategi. Wacana tentang tarif tinggi ini sebenarnya sudah bergulir sejak tahun 2016, dan kembali ditegaskan Trump saat penobatannya sebagai Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2025. Sayangnya, Indonesia baru serius merumuskan poin negosiasi belakangan ini, sementara negara lain telah lebih dulu melakukan pendekatan diplomatik.
Strategi Diplomasi: Berkoalisi atau Bertindak Sendiri?
Dalam situasi ini, pertanyaan utama adalah apakah Indonesia harus mengajak negara lain untuk berkoalisi atau melanjutkan strategi mandiri? Pakar ekonomi internasional menyarankan agar Indonesia tidak melawan tarif ini sendirian. Sebaliknya, diplomasi melalui blok ASEAN dinilai lebih efektif. ASEAN, sebagai salah satu kawasan ekonomi terbesar di dunia, memiliki potensi besar untuk bernegosiasi secara kolektif demi menurunkan tarif dagang.
"Kalau mau melakukan diplomasi, jangan sendiri. Lakukan diplomasi dengan blok, misalnya dengan ASEAN," kata seorang pengamat ekonomi. Selain itu, ada alternatif lain yang bisa dijajaki, yaitu koalisi dengan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Negara-negara BRICS memiliki musuh yang sama dalam hal ini: Trump dan kebijakan proteksionismenya. Dengan memperkuat intra-perdagangan, investasi, dan kerja sama keuangan antar-negara BRICS, Indonesia dapat memitigasi dampak negatif dari tarif tinggi tersebut.
Langkah Mitigasi Jangka Panjang
Meskipun diplomasi tetap menjadi kunci, Indonesia juga perlu mempersiapkan langkah mitigasi jangka panjang. Salah satunya adalah dengan memperkuat rantai pasok domestik dan mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sedang mengkaji skenario-skenario alternatif, termasuk kombinasi instrumen ekonomi yang dapat digunakan untuk merespons tarif dagang ini.
"Kami sedang mengkaji kondisi terkini, risiko yang ada, serta apa yang kita inginkan dari Amerika Serikat. Ini belum final, tapi kami sedang merumuskan strategi yang komprehensif," ungkap salah satu pejabat Kemenko Ekonomi.
Upaya mitigasi ini juga didukung oleh pembahasan yang dilakukan antara pemimpin-pemimpin ASEAN. Pada hari Jumat lalu, telewicara antar-pemimpin ASEAN digelar untuk membahas dampak tarif dagang terhadap stabilitas ekonomi kawasan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa gonjang-ganjing ekonomi global tidak mengganggu rantai pasok dan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN.
Kesimpulan
Menghadapi tarif dagang Trump bukanlah tugas mudah bagi Indonesia. Namun, dengan strategi diplomasi yang tepat—baik melalui blok ASEAN maupun koalisi global seperti BRICS—Indonesia memiliki peluang untuk memitigasi dampak negatif dari kebijakan proteksionisme ini. Selain itu, memperkuat ekonomi domestik dan rantai pasok lokal juga menjadi langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat. Dengan kombinasi diplomasi dan mitigasi, Indonesia dapat menjaga stabilitas ekonominya di tengah ketidakpastian global.